Posted by : Unknown
Selasa, 23 Desember 2014
“ Jika sumber
iformasi ilmiah yang diperlukan oleh
sivitas akademika di perguruan tinggi sudah tersedia secara online, dan ketika staf perpustakaan
dapat dihubungi melalui media berbasis internet, apakah masih diperlukan
Perpustakaan?
Kutipan
tersebut menunjukkan realitas tentang era yang sedang kita hadapi saat ini dan
kemungkinan
akan terus berlangsung di masa mendatang.
Realitas tersebut dipicu oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang
berkembang terus dengan cepat yang juga telah mampu mengubah perilaku pengguna informasi. Perkembangan cepat TIK dan kelimpahruahan informasi
memaksa pengelola
perpustakaan perguruan tinggi melakukan inovasi dan modikasi berkelanjutan, jika
tidak mau tertinggal oleh penggunanya. Dalam
hal ini pustakawan dituntut untuk dapat membantu pengguna dan memiliki ketrampilan berinformasi yang lebih baik
daripada kemampuan penggunanya.
Dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi
dinyatakan bahwa perpustakaan perguruan
tinggi adalah perpustakaan yang berada dibawah naungan perguruan tinggi seperti
universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik, dan perguruan
tinggi lain yang sederajat yang bertugas mengelola koleksi perpustakaan,
memberi layanan, pengelolaan sarana dan prasarana, kerjasama jaringan dan
melaksanakan administrasi perpustakaan bagi kepentingan lembaga induknya
khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya (Depdiknas, 2004), sedangkan pengertian perpustakaan perguruan tinggi menurut Perpustakaan Nasional
RI, adalah perpustakaan yang tergabung dalam lingkungan lembaga pendidikan
tinggi baik perpustakaan universitas, fakultas, institut, sekolah tinggi maupun
politeknik (Perpustakaan Nasional RI, 2000).
Meskipun
definisi dan tugas perpustakan perguruan
tinggi tidak banyak mengalami perubahan, namun perkembangan TIK memaksa
pengelola perpustakaan perpustakaan
melakukan transformasi, yakni melakukan perubahan total yang irreversible, tidak
bisa dikembalikan lagi ke bentuk semula (Danabalan,
1999). Perubahan ini dilakukan karena adanya
perubahan perilaku pemustaka saat ini yang sebagian besar sudah dapat
dikategorikan sebagai net generation atau
digital natives, yakni generasi yang tumbuh dalam lingkungan digital yang
berlimpah. Salah satu ciri dari generasi
ini adalah bahwa mereka lebih suka berkolaborasi dalam proses pembelajarannya (Jones,
2011). Transformasi yang harus terjadi di perpustakaan, terutama dari
segi fungsi, SDM, dan fasilitas. Berikut akan dibahas alasan perubahan
tersebut.
B. Perkembangan pesat
informasi dan
pengetahuan serta TIK memicu perubahan besar
TIK telah membawa kemudahan, misalnya Otomasi dan pengelolaan koleksi secara digital. TIK memungkinkan pekerjaan dilakukan tanpa atau dengan sedikit sekali campur tangan manusia, misalnya layanan informasi kilat, Selective Dissemination of Information (SDI) atau pemberitahuan langganan online database baru yang dapat dikirim secara otomatis melalui e-mail ke semua pengguna perpustakaan. TIK juga mempermudah dan mempercepat perekaman, pengorganisasian, editing, penelusuran kembali, penyebaran, dan sharing informasi dan sumber informasi, dalam bentuk multi-format. Sedemikian mudah dan cepatnya sehingga suatu acara atau diskusi dapat diikuti secara interaktif oleh siapa saja yang berminat. Hal ini memicu terciptanya masyarakat yang demokratis, karena setiap orang memiliki akses ke sumber-sumber informasi, dan dengan mudah dapat memublikasikan karyanya di jaringan global; siapa saja tanpa memandang status, kemampuan ekonomi maupun jabatannya dapat berpartisipasi dalam suatu milis. Seorang guru besar dapat dengan mudah terlibat dalam diskusi dengan murid sekolah dasar, demikian juga pejabat pemerintah dan rakyat biasa, tanpa dihambat oleh protokoler yang berlaku di dunia nyata.
Dengan menafaatkan fasilitas TIK, seseorang
semakin mudah melakukan banyak tugas (multi-tasking)
pada sebuah komputer. Misalnya, melalui komputer di rumahnya, seseorang bisa berdialog
secara on-line dengan beberapa orang
sekaligus di berbagai belahan dunia, sambil
mencari dan belanja buku di toko
elektronik, membaca suratkabar elektronik, sambil twitter-ing, mengupdate status face
book, 'menuangkan temuan lapangannya
dalam bentuk audio, visual, audio-visual, dan tekstual, sekaligus. Seseorang juga dapat menuliskan suatu karya
ilmiah dengan urut-urutan yang tidak linear, tetapi bisa bercabang di mana saja
dan lompat (dihubungkan dengan hyperlink) ke mana saja sesuai dengan gagasan yang mengalir tanpa batas.
Komunikasi
melaui internet memudahkan orang untuk menemukan dan sharing informasi dan pengetahuan yang terletak di mana saja tanpa
memperhatikan lokasi pengetahuan atau
informasi tersebut disimpan (ubiqutous). Mesin pencari (search engine) mampu menemukan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam
segala format dan dari mana
saja. Fasilitas Internet juga membantu
kolaborasi dalam pemecahan masalah atau penelitian, tanpa terhalang oleh faktor geografi,
kelembagaan, dan status sosial. Internet
juga mempercepat publikasi: siapa saja bisa mengunggah karyanya di Internet, dan
internet juga mampu memaksa seseorang tidak menyembunyikan informasi yang
dimiliki untuk kepentingan bersama.
Kemampuan
TIK mempermudah
percepatan pertukaran informasi dan pengetahuan dari yang dimiliki oleh suatu
lembaga dalam disiplin/subjek yang sama,
tetapi juga secara intra- dan bahkan antar lembaga. Kita sudah menyaksikan misalnya, sistem
informasi yang dikembangkan dalam bidang akuntansi yang kemudian diadopsi oleh
para ahli komputer, yang bahkan saat ini orang tidak mengetahui bahwa akar
pengembangan sistem informasi berasal dari disiplin ilmu ekonomi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan informasi juga
didorong oleh semakin peliknya isu yang dihadapi oleh manusia di segala bidang. Masalah pencemaran, konflik sosial, kesehatan
masyarakat, politik, kejahatan, pendidikan, dsb, saat ini jauh lebih kompleks
daripada puluhan tahun yang lalu. Untuk
mengatasi hal ini, para pakar mau tidak
mau harus menggunakan pendekatan yang sifatnya holistik dan multidisiplin.
B.1.
Pengetahuan dan informasi menjadi
Aset Penting
Sebagai
akibat dari itu, para pakar menempatkan
informasi dan pengetahuan sebagai aset yang terpenting untuk mengatasi masalah di segala bidang. Itulah sebabnya saat ini muncul berbagai
pangkalan data yang dikeola oleh ‘societies” atau himpunan pakar dalam suatu
bidang atau beberapa bidang yang berkaitan, misalnya Association of Civil
Engineering, Association of Chemical Engineering, dll.
Dalam
masyarakat informasi atau ekonomi berbasis pengetahuan, keunggulan masyarakat atau
kegiatan ekonomi ditentukan oleh sejauh mana suatu keputusan dan tindakan
diambil lebih berdasarkan pengetahuan atau informasi daripada aset lainnya
(seperti uang, energi, teknologi, kekuasaan, dsb). Perpustakaan perguruan tinggi yang mengelola pengetahuan
dan informasi yang dihasilkan oleh sivitas akademika harus mempunyai sikap yang sama terhadap aset
yang satu ini, jika tidak mau dianggap sebagai unit penyimpan buku atau bahkan gudang buku.
B.2.
Perkembangan di Perguruan
Tinggi: Learning not Teaching, Cross-discipline
Untuk
meningkatkan mutu dan sumbangannya pada masyarakat dan perkembangan ilmu,perguruan
tinggi terdorong untuk melakukan perubahan dalam kegiatan ilmiahnya. Perubahan
ini juga tidak terlepas dari perkembangan di bidang TIK dan ilmu pengetahuan seperti yang sudah disebutkan di atas.
Demokratisasi
yang dipicu oleh TIK
menyadarkan perguruan tinggi bahwa informasi bukan
lagi hanya milik dosen atau satu dua orang ahli. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada dosen pun menjadi
tidak sesuai lagi dengan zaman.
Mahasiswa harus diberi peluang untuk
memainkan peranan lebih aktif dalam proses pembelajaran,
termasuk dalam hal menentukan sumber-sumber informasinya dan mengemukakan pendapatnya. Membatasi bahan bacaan dan soal ujian pada
buku wajib merupakan proses pemiskinan intelektual para mahasiswa di tengah information-rich
society. Pembelajaran secara
kolaboratif juga perlu digalakkan. Dengan cara inilah, mahasiswa yang 'mencerna'
sumber informasi yang berbeda-beda bisa
saling berbagi pengetahuan dan memperkaya diri. Disamping itu, kegiatan pembelajaran yang berfokus pada
mahasiswa juga bisa mengakibatkan dosen tidak
lagi merupakan satu-satunya pihak yang layak memberikan
penilaian, tetapi si mahasiswa sendiri, peers,
dan ahli yang ada di luar kampus yang lebih
intensif bekerjasama dengan si mahasiswa tersebut.
Dilandasi
oleh pemikiran tersebut di atas maka dikenal istilah-istilah seperti student-centered learning,
resource-based learning, problem-based learning, collaborative learning, constructive learning, competence-based
curriculum. Persamaan dari semua istilah
ini adalah bahwa peranan dosen lebih sebagai fasilitator
yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar secara aktif dari banyak sumber, termasuk yang terdapat di luar
fakultasnya dan/atau di luar bidang ilmu yang
sedang digeluti. Di samping itu,
penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi pun semakin bersifat multi-disiplin. Ilmuwan cabang ilmu yang berbeda semakin
saling membutuhkan untuk memecahkan
permasalahan yang semakin kompleks.
C. Transformasi Perpustakaan Perguruan Tinggi
Konteks
tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perpustakaan perlu melakukan transformasi kalau ingin berperanan
penting dalam perubahan tersebut di atas. Transformasi tersebut adalah
terutama dalam hal fungsi, SDM, dan fasilitas.
C.1. Perpustakaan Perguruan
Tinggi Menangkap Peluang Baru dengan Adding Values,
Streamlining, Ekspansi, dan Inovasi
Dari
segi fungsi, perpustakaan harus berusaha memainkan peranan penting dalam menambah nilai pada informasi dan juga
pada perpustakaan itu sendiri, kalau tidak
mau dikesampingkan oleh pengguna yang semakin dimudahkan oleh TIK dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Caranya yaitu dengan melakukan streamlining, ekspansi, dan inovasi. Penjelasan berikut memperlihatkan perubahan
fungsi perpustakaan sebelum dan sesudah era Internet.
Fungsi
Perpustakaan Sebelum Era Internet:
1.
Memberikan multi-entry service atau pelayanan yang terpisah untuk
pengadaan, pengolahan, transaksi peminjaman, referensi, dsb.
2.
Memberikan pelayanan di tempat (on site) dan sebatas jam
pelayanan
3.
Mengumpulkan informasi dan pengetahuan (umumnya tercetak) secara
lokal
4.
Menjaga koleksi dan akses informasi dan pengetahuan
5.
Manajemen informasi: memberikan pelayanan sebatas akses informasi
dan
pengetahuan
6.
Melayani individu atau kelompok tanpa melihat potensi hubungannya
dengan
individu atau kelompok lain
7.
Melayani pengguna sebagai pengguna
8.
Memberikan pendidikan pemakai sebatas mengenai pemanfaatan
perpustakaan (library skills and literacy)
Fungsi
Perpustakaan Sesudah Era Internet:
1.
Menyediakan one-stop service: multi-functional librarians serving
multi-tasking
2.
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
3.
Mengkoleksi dan menyediakan akses ke informasi dan pengetahuan
serta
sumber-sumbernya yang tersebar di seluruh
dunia, dalam multi-format
(termasuk tacit)
4.
Menambah nilai pada informasi dan pengetahuan (adding value)
5.
Manajemen pengetahuan: memberikan pelayanan bervariasi dan dinamis
meliputi seluruh siklus pengetahuan (mulai dari penciptaan, perekaman dan
publikasi, penyebaran, penggunaan, dan penciptaan kembali, pengetahuan)
6.
Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
7.
Melayani pengguna sebagai mitra
8.
Meningkatkan information skills dan literacy sedemikian rupa
sehingga pengguna dapat memanfaatkan TIK untuk mengakses dan memanfaatkan informasi secara kritis; serta
merekam, memublikasi pengetahuan dengan efisien.
Di
samping saling berkaitan, fungsi-fungsi yang baru tersebut belum lengkap karena perpustakaan dalam masyarakat
pengetahuan dituntut untu terus-menerus melakukan
inovasi dalam menangkap peluang untuk menambah nilai pada organisasi maupun informasi dan
pengetahuan yang ditanganinya. Berikut
ini adalah uraian tentang
fungsi-fungsi yang baru.
C.2.
One-stop Service:
Multi-functional Librarians Serving Multi-tasking Customers
TIK memungkinkan pustakawan dan civitas akademika untuk melakukan multi-tasking di komputer yang
sama. Pekerjaan tradisional perpustakaan
(yaitu, akuisisi, pengolahan, dan penyebaran
informasi; dan juga pengelolaannya) dapat dilakukan melalui satu komputer, dan dengan
prosedur yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan
kalau hal itu dilakukan secara manual dan menyangkut bahan non-elektronik.
Seorang pustakawan bisa menerima pesanan untuk mencari informasi suatu topik,
melakukan pencarian di dalam dan luar perpustakaan tempat ia bekerja, memesan
pada toko buku dan/atau mengunduh
dari Internet atau perpustakaan lain, mengolah informasi yang didapatkannya,
dan menyampaikannya pada si pemesan, tanpa harus berpindah komputer apalagi
melakukan perjalanan ke luar perpustakaan.
Pengguna
juga dapat melakukan beberapa tugas sekaligus melalui system perpustakaan. Waktu mencari suatu informasi, misalnya
'gender', dia bukan hanya bisa mendapatkan sumber
informasi non-personal, tetapi juga nama-nama pengguna yang mempunyai keahlian di bidang
ini. Kemudian dia bisa memilih dengan meng'klik'nya dan berdiskusi dengan
orang tersebut. Karya tulis yang dikerjakannya di komputer tersebut dapat
juga dia kirimkan ke orang-orang yang diinginkan
masukannya. Dia juga bisa mengunggah karya tersebut di basis data perpustakaan supaya
bisa diberi masukan oleh pembaca. Selain itu, dia juga bisa memeriksa sudah sejauh mana pesanan
buku yang diajukannya ke perpustakaan ditindaklanjuti,
melihat menu makanan di kantin universitas atau jadwal kereta api, dsb. Semuanya ini mudah dilakukan dengan bantuan TIK.
C.3.
Memberikan pelayanan 24/7
Fasilitas
perpustakaan digital dan Internet memungkinkan perpustakaan diakses dan digunakan tanpa memandang waktu dan
jarak sehingga pemustaka tetap dapat “merasa”
berada di dalam perpustakaan sepanjang hari selama seminggu. Hal ini akan menambah nilai pada perpustakaan yang bersangkutan, apalagi jika pemustaka tetap melakukan
komunikasi dengan para pustakawan di luar jam buka perpustakaan.
C.4.
Menyediakan Koleksi dan
akses informasi dan pengetahuan dalam multi-format
Seperti
diketahui, saat ini berbagai informasi dan pengetahuan tersaji dalam berbagai bentuk dan sumber. Di samping teks dan cetakan, perpustakaan menyadiakan akses
bahan-bahan multi-media, digital,
hypertext, dsb. Salah satu
contoh bahan multi media yang dapat dimanfaatkan saat ini misalnya Alexander
Street Press, yakni video yang dapat diakses oleh sivitas akademika dan bahkan
dapat dihubungkan dengan bahan ajar.
Bahan ajar visual akan membantu mahasiswa mempelajari bahan kuliah yang sufatnya
“how to”. Karena itu, perpustakaan
perlu menyediakan akses ke semua sumber tersebut, termasuk juga pertemuan dan
diskusi formal dan informal.
C.5.
Menambah nilai pada
informasi dan pengetahuan (adding value)
Kebutuhan
Informasi dan pengetahuan mempunyai konteks.
Nilai informasi dan pengetahuan
ditentukan oleh sejauh mana informasi dan pengetahuan yang disajikan sesuai dengan konteks seorang
pengguna. Penyediaan akses informasi
yang disesuaikan dengan konteks
dapat dilakukan melalui pelayanan personalised library,
konsultasi, berdasarkan profil pengguna dan informasi tentang tahap dan jadwal kegiatan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan
pengguna dalam kegiatan perpustakaan
(misalnya, menentukan kata kunci untuk suatu sumber, link ke suatu situs, dsb.).
Nilai
informasi juga bisa ditingkatkan dengan cara menyediakan akses hanya ke sumber sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya yaitu dengan, misalnya, membuat portal atau pintu masuk ke
sumber-sumber yang sudah diseleksi oleh perpustakaan
atau lembaga lain (misalnya: virtual libraries, subject-based gateways). Nilai informasi juga meningkat bila diberikan pada waktu yang
tepat, dan dapat digunakan dengan mudah. Secara rinci Skyrme (2002) menyebutkan 10
aspek yang dapat meningkatkan nilai
informasi, yaitu, timeliness, accessibility, usability, utility, quality, customised, medium,
repackaging, flexibility, dan reusability.
C.6.
Manajemen Pengetahuan
(lihat
misalnya, Tang, 1998; Branin seperti dikutip oleh Dupuis & Ryan, 2002)
Siklus
pengetahuan meliputi penciptaan, perekaman dan organisasi, penyebaran dan
akses, penggunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan, pengetahuan. Selama ini, perpustakaan (termasuk kajiannya)
lebih banyak berfokus pada organisasi (kataloging, dsb.) dan penyebaran
(termasuk pencarian informasi). Di
samping itu, perpustakaan lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di
luar pikiran penciptanya. Padahal banyak
pengetahuan yang masih ada dalam kepala (dan belum pernah direkam dalam
sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh perpustakaan selama
ini).
Hal
yang mendasari perlunya perubahan tersebut adalah karena pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah
konsumen sekaligus produser pengetahuan ilmiah.
Karena itu, kalau perpustakaan perguruan tinggi tidak memperluas cakupan
kegiatannya dari manajemen informasi ke manajemen pengetahuan, maka
perpustakaan akan dikesampingkan oleh pengguna dari kegiatan-kegiatan
ilmiahnya. Apalagi tersedia fasilitas TIK di luar perpustakaan yang bisa membantu mereka
dalam hal ini. Adopsi konsep ini berarti
perpustakaan harus meyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan
proses pengetahuan, yaitu dengan cara membantu pengguna, baik secara individu
maupun kelompok, menjadi manajer-manajer pengetahuan.
C.7.
Melayani individu atau
kelompok dalam Jaringan
(lihat
misalnya: Wilson, 1998)
Tuntutan
ilmu pengetahuan dan kurikulum perguruan tinggi adalah bahwa dosen, mahasiswa, dan peneliti, melakukan
kegiatan ilmiahnya dengan berkolaborasi dengan ilmuwan lainnya. Keberadaan Internet telah mendorong
berlangsungnya hal ini. Ini berarti,
perpustakaan perguruan tinggi harus membantu individu dalam melakukan
pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan, yaitu dengan cara mendorong dan
menyediakan fasilitas untuk mereka terhubung, berbagi pengetahuan dan
berkolaborasi, dengan orang-orang di dalam dan luar kelompoknya.
C.8.
Melayani pengguna sebagai
Mitra
Karena
pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah konsumen yang sekaligus produsen pengetahuan ilmiah, maka mereka
perlu dilibatkan di semua aspek pekerjaan perpustakaan (yaitu memfasilitasi
pengelolaan pengetahuan). Mereka harus dilibatkan dalam pengolahan,
pengembangan akses, membantu pengguna lainnya dalam menggunakan dan menciptakan pengetahuan. Di samping itu, karena posisi pustakawan yang strategis di antara para
pengguna, maka pustakawan pun harus menjadi mitra bagi pengguna dalam kegiatan
ilmiah mereka. Dengan demikian, bukan
hanya pengguna dan pustakawan akan semakin berdaya,
proses
pengetahuan pun akan semakin cepat dan semakin ekonomis.
C.9.
Meningkatkan literasi
informasi
Kemajuan
pesat TIK memungkinkan akses yang tidak
terbatas ke sumber-sumber informasi dan pengetahuan
yang tidak semuanya terjamin mutunya.
Hal ini dengan sendirinya meningkatkan
kebutuhan pengguna akan penguasaan ICT dan kemampuan untuk mengakses (secara fisik dan
intelektual), menyeleksi, serta
mengeksploitasi informasi dan pengetahuan tersebut, sedemikian rupa sehingga
membantu terciptanya pengetahuan baru. Untuk
itu perpustakaan perlu menyediakan training
on site, online, maupun offline
untuk literasi informasi
yang di dalamnya juga termasuk ICT
literacy. Topiknya meliputi kemampuan
untuk mengenali informasi dan
teknologi yang dibutuhkan, membangun strategi untuk mencari dan menemukan hal tersebut, mengevaluasi informasi dan
sumbernya, mengorganisir dan menggunakannya sehingga berguna untuk menciptakan
pengetahuan baru, dan
mengkomunikasikannya (SCONUL seperti dikutip oleh Naibaho, 2004)
D. Kebutuhan akan
tenaga pustakawan inovatif
Sebetulnya
yang harus pertama kali melakukan transformasi
di era pengetahuan ini adalah para pustakawan.
Meningkatkan nilai informasi (adding value), manajemen pengetahuan, pelatihan literasi informasi, dsb memerlukan
kemampuan pustakawan yang lebih dari sekedar
pengetahuan dan ketrampilan di bidang TI dan
bidang-bidang pengetahuan yang digeluti pengguna. Yang
terlebih diperlukan adalah kemampuan untuk melihat dan bekerja seperti 'kupu-kupu di padang bunga
pengetahuan" atau 'petani di kebunnya', yakni kemampuan untuk melihat dan
memanfaatkan (tepatnya mensinergikan) berbagai
potensi TIK dan pengetahuan untuk
sebanyak mungkin meningkatkan kuantitas dan kualitas siklus pengetahuan. Ini merupakan kemampuan melihat 'di atas rata-rata pengguna' yang sangat memerlukan kreativitas dan inovasi.
Untuk
mengembangkan dan mengelola fungsi-fungsi baru tersebut di atas, perpustakaan memerlukan tenaga yang
mempunyai keahlian yang baru, yaitu gabungan antara kepustakawanan dan ilmu
lainnya.
New librarians will come from other
backgrounds, and the emphasis will be on leadership, connectivity, innovation and creativity - making new
and powerful connections
increasingly on an individual basis between people and their knowledge needs.
(Kempster, 1999, h.201).
Susan
Perry (Raple, 1997) merincinya dengan menyatakan bahwa
The information professional of the
future will most likely be a hybrid of librarianship and computing, media specialization, and
instructional technology, and
we need to start thinking about how we as librarians add value to the teaching/learning/research support
services and what we need to learn from our colleagues.
Secara umum pustakawan harusnya memiliki
kompetensi professional dan kompetensi individu sebagai berikut:
Kompetsni professional pustakawan:
1.
Memiliki pengetahuan
tentang isi sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi dan
menyaring sumber-sumber tersebut secara kritis.
2.
Memiliki pengetahuan
tentang subjek khusus yang sesuai dengan kegiatan organisasi pelanggannya.
3.
Mengembangkan dan mengelola
layanan informasi dengan baik, mudah diakses, dan cost-effective
(efektif dalam pembiayaan) yang sejalan dengan aturan strategis organisasi.
4.
Menyediakan bimbingan dan
bantuan terhadap pengguna layanan informasi dan perpustakaan.
5.
Memperkirakan jenis dan
kebutuhan informasi, nilai jual layanan informasi dan produk-produk yang sesuai
kebutuhan yang telah diketahui.
6.
Mengetahui dan mampu
menggunakan teknologi informasi untuk pengadaan, pengorganisasian, dan penyebaran
informasi.
7.
Mengetahui dan mampu
menggunakan pendekatan bisnis dan manajemen untuk mengkomunikasikan perlunya
layanan informasi kepada manajemen
senior.
8.
Mengembangkan produk-produk
informasi khusus untuk digunakan di dalam atau di luar lembaga atau oleh
pelanggan secara individu.
9.
Mengevaluasi hasil
penggunaan informasi dan menyelenggarakan penelitian yang berhubungan dengan
pemecahan masalah-masalah manajemen informasi.
10. Secara
berkelanjutan memperbaiki layanan informasi untuk merespons perubahan kebutuhan.
11. Menjadi
anggota suatu tim manajemen senior secara efektif dan konsultan suatu
organisasi di bidang informasi.
Sedangkan kompetensi individu yang harus
dimliki pustakawan adalah:
1.
Memiliki komitmen untuk
memberikan layanan yang terbaik
2.
Mampu mencari peluang dan
melihat kesempatan baru baik di dalam maupun di luar perpustakaan.
3.
Berpandangan luas
4.
Mampu mencari mitra kerja
5.
Mampu menciptakan
lingkungan kerja yang dihargai dan dipercaya
6.
Memiliki keterampilan
berkomunikasi yang efektif
7.
Dapat bekerjasama secara
baik dalam suatu tim kerja
8.
Memiliki sifat kepemimpinan
9.
Mampu merencanakan,
memprioritaskan dan memusatkan pada suatu hal yang kritis.
10. Memiliki
komitmen untuk selalu belajar dan merencanakan pengembangan karirnya.
11. Mampu
mengenali nilai dari kerjasama secara profesional dan solidaritas.
Dengan
kompetensi profesional dan kompetensi individu yang ada, maka seharsnya
pustakawan memiliki sifat positif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan dan mempunyai kemampuan untuk hal-hal berikut ini:
D.1. Menjalankan multi-fungsi
Tenaga
perpustakaan harus bisa melayani pengguna
untuk semua kebutuhannya dalam menjalani setiap siklus pengetahuan, yaitu:
mulai dari mengumpulkan dan mencarikan
informasi dan sumbernya (termasuk training memanfaatkan Internet, mengelola anggaran unitnya untuk hal ini),
menggunakannya (termasuk mempresentasikannya secara
multi-format), sampai mempublikasikannya.
Hal ini bisa dilakukan secara
tatap-muka dan melalui komputer (online maupun offline). Untuk
membantu hal inilah maka dibuatkan fasilitas one-stop shop. Dengan demikian, pengguna tidak harus
'dilempar ke sana ke mari' waktu
berhubungan
dengan perpustakaan, dan tenaga perpustakaan yang bersangkutan bisa mengikuti sampai tuntas pemenuhan
kebutuhan pengguna tersebut. Hal ini
juga akan membantu tenaga
perpustakaan mengembangkan pandangan yang kontekstual dan luas untuk setiap
jenis pekerjaan perpustakaan.
Untuk melakukan hal
tersebut, mau tidak mau tenaga perpustakaan harus mempunyai banyak kemampuan. Menurut Dupuis & Ryan (2002, h5), "Holistic librarians with a
broad range of competencies and skills are an emerging prerequisite
in academic libraries, especially in technology-oriented roles." Uraian di bawah bisa memberikan beberapa
gambaran yang lebih nyata mengenai kemampuan dan keterampilan yang
dibutuhkan.
D.2. Menjadi mitra bagi pengguna
Pengguna
perpustakaan perguruan tinggi adalah orang-orang yang tugasnya mengajar, belajar, dan melakukan
penelitian. Untuk itu mereka harus
membuat rancangan pembelajaran suatu
matakuliah, membuat bahan ajar, memberikannya pada siswa; membuat rancangan penelitian,
mengembangkan alat penelitian, mengumpulkan data, menulis laporan penelitian;
belajar, membuat tugas kuliah; mencari sponsor penelitian, sponsor kuliah;
dsb. Tenaga perpustakaan harus menjadi
mitra mereka dalam tugas-tugas tersebut. Bruce (2001) mengelompokkan kemitraan
antara pustakawan dan dosen ke dalam empat bidang, yaitu, kebijakan,
penelitian, kurikulum, supervisi, dan
pengembangan akademik. Menjadi mitra artinya, tenaga
perpustakaan harus turut mengambil bagian yang penting dalam kegiatan tersebut Dengan demikian, tenaga
perpustakaan bukan sekedar
mencarikan informasi dan memberi bantuan teknis demi peningkatan mutu kegiatan yang bersangkutan dan juga mutu
perguruan tinggi.
Ada
dua alasan untuk menjadikan tenaga perpustakaan sebagai mitra bagi pengguna. Pertama, karena posisinya yang strategis
di pusat ilmu (bukankah perpustakaan
merupakan
tempat pengetahuan di segala bidang ilmu terkumpul'), tenaga perpustakaan secara relatif mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk melihat secara
lintas unit dan lintas-disiplin. Menjadi
mitra, tenaga perpustakaan akan memperoleh
banyak kesempatan untuk melakukan cross-breeding
intra- maupun inter-disiplin. Pengalaman ini juga akan meningkatkan mutu
tenaga perpustakaan yang pada akhirnya akan
memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi pengguna.
Untuk
dapat menjadi mitra, tenaga perpustakaan harus menunjukkan kemampuan akademik yang sekurang-kurangnya sama
dengan (tetapi sebaiknya lebih dari) dosen dan
peneliti, apalagi mahasiswa. Kalau
tidak, bagaimana mereka mau mempercayai tenaga
perpustakaan untuk dijadikan mitra. Bukan
hanya itu, alasan yang utama adalah
karena penanganan informasi ilmiah adalah jauh lebih dari sekedar stamping
books, dan memang mutlak memerlukan
penanganan orang-orang yang mempunyai
kemampuan akademik. Tenaga perpustakaan harus berpendidikan minimum S1,
mempunyai latar-belakang ilmu lain di samping keperpustakaan, mempunyai
kemampuan dan pengalaman meneliti dan menulis ilmiah, mengerti kurikulum dan
penelitian dari perspektif intra- maupun inter-disiplin, mampu memanfaatkan TIK lebih dari pengguna, mempunyai
publikasi di luar bidang keperpustakaan, dsb.
D.3. Menjadikan pengguna mitra
dalam pekerjaan perpustakaan
Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari karakteristik pengguna perpustakaan perguruan tinggi yang adalah konsumen
sekaligus produsen informasi ilmiah. Untuk karakteristik pengguna
seperti ini, sistem yang sesuai (efektif dan ekonomis)
adalah yang sifatnya 'Dari Anda untuk Anda'.
Apalagi setiap mereka adalah
bagian dari jaringan yang mungkin berbeda-beda.
Kalau mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan
perpustakaan memfasilitasi proses pengetahuan, perpustakaan akan menjadi sistem yang lemah (miskin) dan out of touch.
D.4. Proaktif terhadap
kemungkinan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan TIK dan ilmu pengetahuan
TIK
dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Dari informasi segala bidang
ilmu
(termasuk
mengenai TIK) yang bertebaran di 'meja
kerjanya' (yang berupa 'more than a digital libraries'),
tenaga perpustakaan harus mempunyai kemampuan untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan 'yang
tidak mungkin' yang bisa dilakukan oleh kedua
hal itu bagi peningkatan kemampuan sistem perpustakaan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalnya, memikirkan untuk
membuat personalisasi fasilitas searching. Fasilitas ini
untuk membantu pengguna menentukan konsep-konsep yang berhubungan dengan bahan ajar atau penelitian yang harus
dibuatnya, menentukan hubungan antar-konsep
tersebut, menentukan format sumber informasi untuk setiap konsep tersebut yang dibutuhkan (gambar, film,
musik, tekstual, orang, dsb.), dan berdasarkan
ini, dengan sekali tekan tombol, sistem akan mencarikan informasi yang dibutuhkannya. Hal ini akan membuat hasil penelusuran yang
kaya tetapi terarah (terstruktur). Kalau mungkin juga, bisa langsung dihubungkan
dengan
bagian-bagian
karya ilmiah yang harus dibuat.
D.5. Menerapkan konsep-konsep
manajemen yang baru termasuk dalam hal hubungan
dengan pengguna
Bidang
ilmu manajemen berkembang terus, dan mempunyai konsep-konsep dan cara-cara baru dalam
mengelola organisasi yang berorientasi terhadap pengguna. Namun
konsep dan cara baru ini belum tentu sudah teruji di perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai
karakteristik sendiri. Memanfaatkan ilmu manajemen
untuk perpustakaan dengan sendirinya bukan hanya menguntungkan perpustakaan, tetapi juga bisa membantu
perkembangan bidang ilmu tersebut yang mungkin
kurang menjadikan 'tantangan atau isu manajemen di perpustakaan' sebagai bahan masukan bagi pengembangannya.
E. Fasilitas
TIK
Untuk
menjalankan fungsinya seperti yang
diamantakandi atas, perpustakaan perlu mengembangkan fasilitas yang lebih dari sekedar
perpustakaan digital, yaitu perpustakaan
digital
dengan fasilitas untuk:
1.
menghubungkan orang-orang yang bekerja dengan topik yang sama atau serupa Untuk
ini perlu dibuat fasilitas penghubung dengan para ahli yang ada di dalam dan
luar kampus, database ahli, dan fasilitas diskusi melalui milis, dan konsultasi on-line atau liwat e-mail.
2.
menghubungkan orang dengan informasi, yang terdapat di dalam dan luar kampus
Di
samping pangkalan data lokal, perpustakaan juga harus menyediakan links dengan sumber-sumber di luar.
3.
merekam jalannya dan hasil pertemuan (termasuk rapat, seminar, kuliah, dsb.)
4.
memublikasi dalam berbagai
format (untuk ini diperlukan misalnya, software untuk video editing, web development, dsb.)
5. mengunggah berkas
multiformat bahkan sejak draft pertama, dan mendiskusikan karya yang diunggah tersebut
6.
membuat perpustakaan digital pribadi, yaitu dengan fasilitas untuk membuat link dengan sumber-sumber di dalam dan
luar perpustakaan menurut kata-kata kunci dan
hubungan antar-kata kunci tersebut, yang ditentukan oleh pengguna sendiri
7.
membuat modul-modul interaktif untuk
pelatihan literasi informasi yang dapat
diakses secara online secara on-line maupun off-line
8.
merekam semua transaksi yang pernah terjadi antara perpustakaan dan pengguna, sedemikian rupa sehingga perpustakaan
dapat memanfaatkan akumulasi pengetahuan ini
dengan mudah untuk mempercepat dan meningkatkan mutu pelayanan dan proses pengetahuan. Informasi yang perlu
direkam adalah mengenai pengguna (minat, keahlian publikasi, kegiatan, dsb.), informasi yang pernah dicarinya, dan
bagaimana hasilnya; keluhan, kritik,
dan usulan yang pernah disampaikannya; bagaimana atau sejauh mana tanggapan perpustakaan
mengenai hal-hal tersebut, dan tanggapan pengguna
terhadap respons perpustakaan; dst. Hal
ini berguna untuk perpustakaan membangun
hubungan dengan penggunanya secara individual dan mengantisipasi kebutuhannya. Dengan
demikian, perpustakaan menjadi terintegrasi dengan kegiatan penggunanya. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan, kepuasan, dan kepercayaan pengguna akan perpustakaan, serta
kemitraan di antara mereka.
F.
Gedung
Meskipun
tingkat penambahan koleksi tercetak tidak akan sebanyak dahulu, hal ini tidak berarti perpustakaan memerlukan
ruang yang lebih kecil. Ruang yang lebih luas justru perlu disediakan untuk training information Litercy, peralatan komputer untuk one-stop service, peralatan digitalisasi, ruang pengembangan bahan multimedia yang dibutuhkan pengguna,
ruang pertemuan, ruang-ruang untuk menggunakan
komputer pribadi, dsb.
G. PENUTUP
Perkembangan
TIK dan ilmu pengetahuan memaksa perpustakaan
perguruan tinggi untuk melakukan perubahan
besar-besaran kalau tidak mau ditinggalkan oleh penggunanya. Perpustakaan
perlu melakukan transformasi dari penjaga perpustakaan ke penambah nilai pada perpustakaan dan informasi,
dari koleksi tercetak ke digital, dari pemain pasif ke peserta aktif dan
dinamis dalam penciptaan pengetahuan pengguna, dari manajemen informasi ke
manajemen pengetahuan, dari training library
skills ke information Literacy.
Seluruh perubahan ini memerlukan
transformasi pustakawannya terlebih dahulu.
Transformasi pustakawan ini terutama
menyangkut perluasan pandangannya mengenai posisi dan peranannya dalam peningkatan nilai
informasi dan sumber-sumbernya secara terus-menerus,
proaktif, dan kreatif. Tentu saja ini
memerlukan komitmen bukan hanya dari pustakawan,
tetapi terutama juga dari pimpinan tertinggi di organisasi induk. Perubahan tersebut bisa juga termasuk
pengurangan tenaga kerja untuk tugas-tugas
tradisional, seperti akuisisi, pengolahan, dan transaksi.
Namun perguruan tinggi harus
mendukung hal ini kalau pengelolaan dan pengembangan pengetahuan akan dijalankan secara ekonomis dari segi
waktu dan biaya. Hanya dengan demikian perguruan tinggi bisa
memenangkan kompetisi di era globalisasi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bjornshauge,
L. (1999). The electronic library: job design, work
processes and qualifications in electronic
information services - the Julia project.
Dalam S. Criddle, L. Dempsey, dan R.
Heseltine (eds.) Information landscapes for a learning society: networking and the future of libraries 3. An international conference held at the university of
bath, 29 june-1 july 1998 (177-185). London: Library Association
Publishing.
Bruce,
C. (2001). “Faculty-librarian partnerships in
australian higher education: critical
dimensions”. Reference
Service Review, 29 (2), 106-111.
Bundy,
Alan (2001). The 21st century
profession: objects, values, responsibilities.
Paper delivered at CPD seminar ALIA Qld Branch 20 June 2001.
Danabalan,
Hon Dato' V. (1999). "Knowledge
Economy and Knowledge Society -Challenge and Opportunities for Human Resource
Management", Buletin JPA Online. Ditelusuri tanggal 31 Juli 2004
Diao,
Ai Lien (2003). Perubahan perpustakaan
perguruan tinggi dan kebutuhan akan
tenaga baru. Makalah yang
dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia
(FPPTI), yang diselenggarakan pada tanggal
16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Depok.
Doskatsch,
I. (2003). Perceptions and perplexities
of the faculty-librarian partnership: an australian
perspective. Reference Service Review,
31(2), 111-121.
Dupuis,
J. & Ryan, P. (2002). Bridging the
two cultures: a collaborative approach
to managing electronic resources. Issues
in Science and Technology Librarianship, spring.
Feret,
B. & Marcinek, M. (1999). The future
of the academic library and the academic
librarian: a delphi study. Library Career
Development, 7(10), 91-107. <http://www.jpa.gov.my/buletinjpa/bil2/knowledge_economy_and_knowledge_.htm>
Jones, Christopher and Shao,
Binhui (2011). The Net Generation and Digital Natives Implications for Higher Education
: A literature review commissioned by the Higher Education
Academy (Final Version).
Milton Keynes: The Open
University.
Kementerian Pendidikan Nasional RI (2004).
Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Kempster,
G. (1999). Dawning of the age: the
horizon for powerful people-centred
libraries. Dalam S. Criddle, L. Dempsey,
dan R. Heseltine (eds.) Information landscapes for a
learning society: networking and the future of libraries 3. An
international conference held at the university of bath, 29 june-1 july 1998 (199-204). London: Library Association Publishing.
Mayer,
R.E., Smith, T.R., Borgman, C.L., & Smart, L.J. (2002). Digital libraries
as instructional aids for knowledge construction. Educational Technology,November-December, 38-42.
Morgan,
S. (1996). Developing academic library skills
for the future. Library Review, 45(5), 41-53.
Naibaho,
Kalarensi (2004). Information literacy
.... Tesis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia-Progam Studi Ilmu Perpustakaan.
Rapple,
B.A. with commentaries by Joanne R. Euster, Susan Perry, and Jimmy Schmidt (1997). The electronic library: new roles for librarians.
Cause/Effect,
20(1), 45-51.
Skyrme,
David (2002). Ten ways to add value to your
business. Ditelusuri pada tanggal 29 Juli 2004 dari http://www.skyrme.com/pubs/tenways.htm.
Tang,
J. (1998). The expanding roles of librarians for the new
millennium. IASSIST
Quarterly, spring, 19-23.
Wilson,
T.D. (1998). Redesigning the university
library in the digital age. Journal of Documentation,
54(1), 15-27.
_____
** atas ijin penulis (Dr. Diao Ai Lien),
makalah berjudul “Perubahan perpustakaan perguruan tinggi
dan kebutuhan akan
tenaga baru” dikembangkan dan diperkaya dengan
literatur terbaru agar lebih sesuai dengan perkembangan lingkungan pergurua
tinggi saat ini.
Perpustakaan
masa depan: perspektif pustakawan
(Pustakawan
adalah profesi yang challenging)
“ Jika sumber
iformasi ilmiah yang diperlukan oleh
sivitas akademika di perguruan tinggi sudah tersedia secara online, dan ketika staf perpustakaan
dapat dihubungi melalui media berbasis internet, apakah masih diperlukan
Perpustakaan?
Kutipan
tersebut menunjukkan realitas tentang era yang sedang kita hadapi saat ini dan
kemungkinan
akan terus berlangsung di masa mendatang.
Realitas tersebut dipicu oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang
berkembang terus dengan cepat yang juga telah mampu mengubah perilaku pengguna informasi. Perkembangan cepat TIK dan kelimpahruahan informasi
memaksa pengelola
perpustakaan perguruan tinggi melakukan inovasi dan modikasi berkelanjutan, jika
tidak mau tertinggal oleh penggunanya. Dalam
hal ini pustakawan dituntut untuk dapat membantu pengguna dan memiliki ketrampilan berinformasi yang lebih baik
daripada kemampuan penggunanya.
A. Perpustakaan Perguruan
Tinggi
Dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi
dinyatakan bahwa perpustakaan perguruan
tinggi adalah perpustakaan yang berada dibawah naungan perguruan tinggi seperti
universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik, dan perguruan
tinggi lain yang sederajat yang bertugas mengelola koleksi perpustakaan,
memberi layanan, pengelolaan sarana dan prasarana, kerjasama jaringan dan
melaksanakan administrasi perpustakaan bagi kepentingan lembaga induknya
khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya (Depdiknas, 2004), sedangkan pengertian perpustakaan perguruan tinggi menurut Perpustakaan Nasional
RI, adalah perpustakaan yang tergabung dalam lingkungan lembaga pendidikan
tinggi baik perpustakaan universitas, fakultas, institut, sekolah tinggi maupun
politeknik (Perpustakaan Nasional RI, 2000).
Meskipun
definisi dan tugas perpustakan perguruan
tinggi tidak banyak mengalami perubahan, namun perkembangan TIK memaksa
pengelola perpustakaan perpustakaan
melakukan transformasi, yakni melakukan perubahan total yang irreversible, tidak
bisa dikembalikan lagi ke bentuk semula (Danabalan,
1999). Perubahan ini dilakukan karena adanya
perubahan perilaku pemustaka saat ini yang sebagian besar sudah dapat
dikategorikan sebagai net generation atau
digital natives, yakni generasi yang tumbuh dalam lingkungan digital yang
berlimpah. Salah satu ciri dari generasi
ini adalah bahwa mereka lebih suka berkolaborasi dalam proses pembelajarannya (Jones,
2011). Transformasi yang harus terjadi di perpustakaan, terutama dari
segi fungsi, SDM, dan fasilitas. Berikut akan dibahas alasan perubahan
tersebut.
B. Perkembangan pesat
informasi dan
pengetahuan serta TIK memicu perubahan besar
TIK
telah membawa kemudahan, misalnya Otomasi dan pengelolaan koleksi secara digital. TIK memungkinkan
pekerjaan dilakukan tanpa atau dengan sedikit sekali campur tangan manusia, misalnya layanan informasi
kilat, Selective Dissemination of Information (SDI) atau pemberitahuan
langganan online database baru yang dapat dikirim secara otomatis melalui e-mail ke
semua pengguna perpustakaan. TIK juga mempermudah dan mempercepat perekaman,
pengorganisasian, editing, penelusuran kembali, penyebaran, dan sharing informasi dan sumber informasi, dalam
bentuk multi-format. Sedemikian mudah dan cepatnya sehingga suatu acara atau
diskusi dapat diikuti secara interaktif oleh siapa saja yang berminat. Hal ini memicu terciptanya masyarakat yang
demokratis, karena setiap orang memiliki akses ke sumber-sumber informasi, dan
dengan mudah dapat memublikasikan karyanya di jaringan global; siapa saja tanpa
memandang status, kemampuan ekonomi maupun jabatannya dapat berpartisipasi dalam suatu milis. Seorang guru besar dapat dengan mudah
terlibat dalam diskusi dengan murid sekolah dasar, demikian juga pejabat
pemerintah dan rakyat biasa, tanpa dihambat oleh protokoler yang berlaku di
dunia nyata.
Dengan menafaatkan fasilitas TIK, seseorang
semakin mudah melakukan banyak tugas (multi-tasking)
pada sebuah komputer. Misalnya, melalui komputer di rumahnya, seseorang bisa berdialog
secara on-line dengan beberapa orang
sekaligus di berbagai belahan dunia, sambil
mencari dan belanja buku di toko
elektronik, membaca suratkabar elektronik, sambil twitter-ing, mengupdate status face
book, 'menuangkan temuan lapangannya
dalam bentuk audio, visual, audio-visual, dan tekstual, sekaligus. Seseorang juga dapat menuliskan suatu karya
ilmiah dengan urut-urutan yang tidak linear, tetapi bisa bercabang di mana saja
dan lompat (dihubungkan dengan hyperlink) ke mana saja sesuai dengan gagasan yang mengalir tanpa batas.
Komunikasi
melaui internet memudahkan orang untuk menemukan dan sharing informasi dan pengetahuan yang terletak di mana saja tanpa
memperhatikan lokasi pengetahuan atau
informasi tersebut disimpan (ubiqutous). Mesin pencari (search engine) mampu menemukan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam
segala format dan dari mana
saja. Fasilitas Internet juga membantu
kolaborasi dalam pemecahan masalah atau penelitian, tanpa terhalang oleh faktor geografi,
kelembagaan, dan status sosial. Internet
juga mempercepat publikasi: siapa saja bisa mengunggah karyanya di Internet, dan
internet juga mampu memaksa seseorang tidak menyembunyikan informasi yang
dimiliki untuk kepentingan bersama.
Kemampuan
TIK mempermudah
percepatan pertukaran informasi dan pengetahuan dari yang dimiliki oleh suatu
lembaga dalam disiplin/subjek yang sama,
tetapi juga secara intra- dan bahkan antar lembaga. Kita sudah menyaksikan misalnya, sistem
informasi yang dikembangkan dalam bidang akuntansi yang kemudian diadopsi oleh
para ahli komputer, yang bahkan saat ini orang tidak mengetahui bahwa akar
pengembangan sistem informasi berasal dari disiplin ilmu ekonomi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan informasi juga
didorong oleh semakin peliknya isu yang dihadapi oleh manusia di segala bidang. Masalah pencemaran, konflik sosial, kesehatan
masyarakat, politik, kejahatan, pendidikan, dsb, saat ini jauh lebih kompleks
daripada puluhan tahun yang lalu. Untuk
mengatasi hal ini, para pakar mau tidak
mau harus menggunakan pendekatan yang sifatnya holistik dan multidisiplin.
B.1.
Pengetahuan dan informasi menjadi
Aset Penting
Sebagai
akibat dari itu, para pakar menempatkan
informasi dan pengetahuan sebagai aset yang terpenting untuk mengatasi masalah di segala bidang. Itulah sebabnya saat ini muncul berbagai
pangkalan data yang dikeola oleh ‘societies” atau himpunan pakar dalam suatu
bidang atau beberapa bidang yang berkaitan, misalnya Association of Civil
Engineering, Association of Chemical Engineering, dll.
Dalam
masyarakat informasi atau ekonomi berbasis pengetahuan, keunggulan masyarakat atau
kegiatan ekonomi ditentukan oleh sejauh mana suatu keputusan dan tindakan
diambil lebih berdasarkan pengetahuan atau informasi daripada aset lainnya
(seperti uang, energi, teknologi, kekuasaan, dsb). Perpustakaan perguruan tinggi yang mengelola pengetahuan
dan informasi yang dihasilkan oleh sivitas akademika harus mempunyai sikap yang sama terhadap aset
yang satu ini, jika tidak mau dianggap sebagai unit penyimpan buku atau bahkan gudang buku.
B.2.
Perkembangan di Perguruan
Tinggi: Learning not Teaching, Cross-discipline
Untuk
meningkatkan mutu dan sumbangannya pada masyarakat dan perkembangan ilmu,perguruan
tinggi terdorong untuk melakukan perubahan dalam kegiatan ilmiahnya. Perubahan
ini juga tidak terlepas dari perkembangan di bidang TIK dan ilmu pengetahuan seperti yang sudah disebutkan di atas.
Demokratisasi
yang dipicu oleh TIK
menyadarkan perguruan tinggi bahwa informasi bukan
lagi hanya milik dosen atau satu dua orang ahli. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada dosen pun menjadi
tidak sesuai lagi dengan zaman.
Mahasiswa harus diberi peluang untuk
memainkan peranan lebih aktif dalam proses pembelajaran,
termasuk dalam hal menentukan sumber-sumber informasinya dan mengemukakan pendapatnya. Membatasi bahan bacaan dan soal ujian pada
buku wajib merupakan proses pemiskinan intelektual para mahasiswa di tengah information-rich
society. Pembelajaran secara
kolaboratif juga perlu digalakkan. Dengan cara inilah, mahasiswa yang 'mencerna'
sumber informasi yang berbeda-beda bisa
saling berbagi pengetahuan dan memperkaya diri. Disamping itu, kegiatan pembelajaran yang berfokus pada
mahasiswa juga bisa mengakibatkan dosen tidak
lagi merupakan satu-satunya pihak yang layak memberikan
penilaian, tetapi si mahasiswa sendiri, peers,
dan ahli yang ada di luar kampus yang lebih
intensif bekerjasama dengan si mahasiswa tersebut.
Dilandasi
oleh pemikiran tersebut di atas maka dikenal istilah-istilah seperti student-centered learning,
resource-based learning, problem-based learning, collaborative learning, constructive learning, competence-based
curriculum. Persamaan dari semua istilah
ini adalah bahwa peranan dosen lebih sebagai fasilitator
yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar secara aktif dari banyak sumber, termasuk yang terdapat di luar
fakultasnya dan/atau di luar bidang ilmu yang
sedang digeluti. Di samping itu,
penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi pun semakin bersifat multi-disiplin. Ilmuwan cabang ilmu yang berbeda semakin
saling membutuhkan untuk memecahkan
permasalahan yang semakin kompleks.
C. Transformasi Perpustakaan Perguruan Tinggi
Konteks
tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perpustakaan perlu melakukan transformasi kalau ingin berperanan
penting dalam perubahan tersebut di atas. Transformasi tersebut adalah
terutama dalam hal fungsi, SDM, dan fasilitas.
C.1. Perpustakaan Perguruan
Tinggi Menangkap Peluang Baru dengan Adding Values,
Streamlining, Ekspansi, dan Inovasi
Dari
segi fungsi, perpustakaan harus berusaha memainkan peranan penting dalam menambah nilai pada informasi dan juga
pada perpustakaan itu sendiri, kalau tidak
mau dikesampingkan oleh pengguna yang semakin dimudahkan oleh TIK dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Caranya yaitu dengan melakukan streamlining, ekspansi, dan inovasi. Penjelasan berikut memperlihatkan perubahan
fungsi perpustakaan sebelum dan sesudah era Internet.
Fungsi
Perpustakaan Sebelum Era Internet:
1.
Memberikan multi-entry service atau pelayanan yang terpisah untuk
pengadaan, pengolahan, transaksi peminjaman, referensi, dsb.
2.
Memberikan pelayanan di tempat (on site) dan sebatas jam
pelayanan
3.
Mengumpulkan informasi dan pengetahuan (umumnya tercetak) secara
lokal
4.
Menjaga koleksi dan akses informasi dan pengetahuan
5.
Manajemen informasi: memberikan pelayanan sebatas akses informasi
dan
pengetahuan
6.
Melayani individu atau kelompok tanpa melihat potensi hubungannya
dengan
individu atau kelompok lain
7.
Melayani pengguna sebagai pengguna
8.
Memberikan pendidikan pemakai sebatas mengenai pemanfaatan
perpustakaan (library skills and literacy)
Fungsi
Perpustakaan Sesudah Era Internet:
1.
Menyediakan one-stop service: multi-functional librarians serving
multi-tasking
2.
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
3.
Mengkoleksi dan menyediakan akses ke informasi dan pengetahuan
serta
sumber-sumbernya yang tersebar di seluruh
dunia, dalam multi-format
(termasuk tacit)
4.
Menambah nilai pada informasi dan pengetahuan (adding value)
5.
Manajemen pengetahuan: memberikan pelayanan bervariasi dan dinamis
meliputi seluruh siklus pengetahuan (mulai dari penciptaan, perekaman dan
publikasi, penyebaran, penggunaan, dan penciptaan kembali, pengetahuan)
6.
Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
7.
Melayani pengguna sebagai mitra
8.
Meningkatkan information skills dan literacy sedemikian rupa
sehingga pengguna dapat memanfaatkan TIK untuk mengakses dan memanfaatkan informasi secara kritis; serta
merekam, memublikasi pengetahuan dengan efisien.
Di
samping saling berkaitan, fungsi-fungsi yang baru tersebut belum lengkap karena perpustakaan dalam masyarakat
pengetahuan dituntut untu terus-menerus melakukan
inovasi dalam menangkap peluang untuk menambah nilai pada organisasi maupun informasi dan
pengetahuan yang ditanganinya. Berikut
ini adalah uraian tentang
fungsi-fungsi yang baru.
C.2.
One-stop Service:
Multi-functional Librarians Serving Multi-tasking Customers
TIK memungkinkan pustakawan dan civitas akademika untuk melakukan multi-tasking di komputer yang
sama. Pekerjaan tradisional perpustakaan
(yaitu, akuisisi, pengolahan, dan penyebaran
informasi; dan juga pengelolaannya) dapat dilakukan melalui satu komputer, dan dengan
prosedur yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan
kalau hal itu dilakukan secara manual dan menyangkut bahan non-elektronik.
Seorang pustakawan bisa menerima pesanan untuk mencari informasi suatu topik,
melakukan pencarian di dalam dan luar perpustakaan tempat ia bekerja, memesan
pada toko buku dan/atau mengunduh
dari Internet atau perpustakaan lain, mengolah informasi yang didapatkannya,
dan menyampaikannya pada si pemesan, tanpa harus berpindah komputer apalagi
melakukan perjalanan ke luar perpustakaan.
Pengguna
juga dapat melakukan beberapa tugas sekaligus melalui system perpustakaan. Waktu mencari suatu informasi, misalnya
'gender', dia bukan hanya bisa mendapatkan sumber
informasi non-personal, tetapi juga nama-nama pengguna yang mempunyai keahlian di bidang
ini. Kemudian dia bisa memilih dengan meng'klik'nya dan berdiskusi dengan
orang tersebut. Karya tulis yang dikerjakannya di komputer tersebut dapat
juga dia kirimkan ke orang-orang yang diinginkan
masukannya. Dia juga bisa mengunggah karya tersebut di basis data perpustakaan supaya
bisa diberi masukan oleh pembaca. Selain itu, dia juga bisa memeriksa sudah sejauh mana pesanan
buku yang diajukannya ke perpustakaan ditindaklanjuti,
melihat menu makanan di kantin universitas atau jadwal kereta api, dsb. Semuanya ini mudah dilakukan dengan bantuan TIK.
C.3.
Memberikan pelayanan 24/7
Fasilitas
perpustakaan digital dan Internet memungkinkan perpustakaan diakses dan digunakan tanpa memandang waktu dan
jarak sehingga pemustaka tetap dapat “merasa”
berada di dalam perpustakaan sepanjang hari selama seminggu. Hal ini akan menambah nilai pada perpustakaan yang bersangkutan, apalagi jika pemustaka tetap melakukan
komunikasi dengan para pustakawan di luar jam buka perpustakaan.
C.4.
Menyediakan Koleksi dan
akses informasi dan pengetahuan dalam multi-format
Seperti
diketahui, saat ini berbagai informasi dan pengetahuan tersaji dalam berbagai bentuk dan sumber. Di samping teks dan cetakan, perpustakaan menyadiakan akses
bahan-bahan multi-media, digital,
hypertext, dsb. Salah satu
contoh bahan multi media yang dapat dimanfaatkan saat ini misalnya Alexander
Street Press, yakni video yang dapat diakses oleh sivitas akademika dan bahkan
dapat dihubungkan dengan bahan ajar.
Bahan ajar visual akan membantu mahasiswa mempelajari bahan kuliah yang sufatnya
“how to”. Karena itu, perpustakaan
perlu menyediakan akses ke semua sumber tersebut, termasuk juga pertemuan dan
diskusi formal dan informal.
C.5.
Menambah nilai pada
informasi dan pengetahuan (adding value)
Kebutuhan
Informasi dan pengetahuan mempunyai konteks.
Nilai informasi dan pengetahuan
ditentukan oleh sejauh mana informasi dan pengetahuan yang disajikan sesuai dengan konteks seorang
pengguna. Penyediaan akses informasi
yang disesuaikan dengan konteks
dapat dilakukan melalui pelayanan personalised library,
konsultasi, berdasarkan profil pengguna dan informasi tentang tahap dan jadwal kegiatan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan
pengguna dalam kegiatan perpustakaan
(misalnya, menentukan kata kunci untuk suatu sumber, link ke suatu situs, dsb.).
Nilai
informasi juga bisa ditingkatkan dengan cara menyediakan akses hanya ke sumber sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya yaitu dengan, misalnya, membuat portal atau pintu masuk ke
sumber-sumber yang sudah diseleksi oleh perpustakaan
atau lembaga lain (misalnya: virtual libraries, subject-based gateways). Nilai informasi juga meningkat bila diberikan pada waktu yang
tepat, dan dapat digunakan dengan mudah. Secara rinci Skyrme (2002) menyebutkan 10
aspek yang dapat meningkatkan nilai
informasi, yaitu, timeliness, accessibility, usability, utility, quality, customised, medium,
repackaging, flexibility, dan reusability.
C.6.
Manajemen Pengetahuan
(lihat
misalnya, Tang, 1998; Branin seperti dikutip oleh Dupuis & Ryan, 2002)
Siklus
pengetahuan meliputi penciptaan, perekaman dan organisasi, penyebaran dan
akses, penggunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan, pengetahuan. Selama ini, perpustakaan (termasuk kajiannya)
lebih banyak berfokus pada organisasi (kataloging, dsb.) dan penyebaran
(termasuk pencarian informasi). Di
samping itu, perpustakaan lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di
luar pikiran penciptanya. Padahal banyak
pengetahuan yang masih ada dalam kepala (dan belum pernah direkam dalam
sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh perpustakaan selama
ini).
Hal
yang mendasari perlunya perubahan tersebut adalah karena pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah
konsumen sekaligus produser pengetahuan ilmiah.
Karena itu, kalau perpustakaan perguruan tinggi tidak memperluas cakupan
kegiatannya dari manajemen informasi ke manajemen pengetahuan, maka
perpustakaan akan dikesampingkan oleh pengguna dari kegiatan-kegiatan
ilmiahnya. Apalagi tersedia fasilitas TIK di luar perpustakaan yang bisa membantu mereka
dalam hal ini. Adopsi konsep ini berarti
perpustakaan harus meyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan
proses pengetahuan, yaitu dengan cara membantu pengguna, baik secara individu
maupun kelompok, menjadi manajer-manajer pengetahuan.
C.7.
Melayani individu atau
kelompok dalam Jaringan
(lihat
misalnya: Wilson, 1998)
Tuntutan
ilmu pengetahuan dan kurikulum perguruan tinggi adalah bahwa dosen, mahasiswa, dan peneliti, melakukan
kegiatan ilmiahnya dengan berkolaborasi dengan ilmuwan lainnya. Keberadaan Internet telah mendorong
berlangsungnya hal ini. Ini berarti,
perpustakaan perguruan tinggi harus membantu individu dalam melakukan
pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan, yaitu dengan cara mendorong dan
menyediakan fasilitas untuk mereka terhubung, berbagi pengetahuan dan
berkolaborasi, dengan orang-orang di dalam dan luar kelompoknya.
C.8.
Melayani pengguna sebagai
Mitra
Karena
pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah konsumen yang sekaligus produsen pengetahuan ilmiah, maka mereka
perlu dilibatkan di semua aspek pekerjaan perpustakaan (yaitu memfasilitasi
pengelolaan pengetahuan). Mereka harus dilibatkan dalam pengolahan,
pengembangan akses, membantu pengguna lainnya dalam menggunakan dan menciptakan pengetahuan. Di samping itu, karena posisi pustakawan yang strategis di antara para
pengguna, maka pustakawan pun harus menjadi mitra bagi pengguna dalam kegiatan
ilmiah mereka. Dengan demikian, bukan
hanya pengguna dan pustakawan akan semakin berdaya,
proses
pengetahuan pun akan semakin cepat dan semakin ekonomis.
C.9.
Meningkatkan literasi
informasi
Kemajuan
pesat TIK memungkinkan akses yang tidak
terbatas ke sumber-sumber informasi dan pengetahuan
yang tidak semuanya terjamin mutunya.
Hal ini dengan sendirinya meningkatkan
kebutuhan pengguna akan penguasaan ICT dan kemampuan untuk mengakses (secara fisik dan
intelektual), menyeleksi, serta
mengeksploitasi informasi dan pengetahuan tersebut, sedemikian rupa sehingga
membantu terciptanya pengetahuan baru. Untuk
itu perpustakaan perlu menyediakan training
on site, online, maupun offline
untuk literasi informasi
yang di dalamnya juga termasuk ICT
literacy. Topiknya meliputi kemampuan
untuk mengenali informasi dan
teknologi yang dibutuhkan, membangun strategi untuk mencari dan menemukan hal tersebut, mengevaluasi informasi dan
sumbernya, mengorganisir dan menggunakannya sehingga berguna untuk menciptakan
pengetahuan baru, dan
mengkomunikasikannya (SCONUL seperti dikutip oleh Naibaho, 2004)
D. Kebutuhan akan
tenaga pustakawan inovatif
Sebetulnya
yang harus pertama kali melakukan transformasi
di era pengetahuan ini adalah para pustakawan.
Meningkatkan nilai informasi (adding value), manajemen pengetahuan, pelatihan literasi informasi, dsb memerlukan
kemampuan pustakawan yang lebih dari sekedar
pengetahuan dan ketrampilan di bidang TI dan
bidang-bidang pengetahuan yang digeluti pengguna. Yang
terlebih diperlukan adalah kemampuan untuk melihat dan bekerja seperti 'kupu-kupu di padang bunga
pengetahuan" atau 'petani di kebunnya', yakni kemampuan untuk melihat dan
memanfaatkan (tepatnya mensinergikan) berbagai
potensi TIK dan pengetahuan untuk
sebanyak mungkin meningkatkan kuantitas dan kualitas siklus pengetahuan. Ini merupakan kemampuan melihat 'di atas rata-rata pengguna' yang sangat memerlukan kreativitas dan inovasi.
Untuk
mengembangkan dan mengelola fungsi-fungsi baru tersebut di atas, perpustakaan memerlukan tenaga yang
mempunyai keahlian yang baru, yaitu gabungan antara kepustakawanan dan ilmu
lainnya.
New librarians will come from other
backgrounds, and the emphasis will be on leadership, connectivity, innovation and creativity - making new
and powerful connections
increasingly on an individual basis between people and their knowledge needs.
(Kempster, 1999, h.201).
Susan
Perry (Raple, 1997) merincinya dengan menyatakan bahwa
The information professional of the
future will most likely be a hybrid of librarianship and computing, media specialization, and
instructional technology, and
we need to start thinking about how we as librarians add value to the teaching/learning/research support
services and what we need to learn from our colleagues.
Secara umum pustakawan harusnya memiliki
kompetensi professional dan kompetensi individu sebagai berikut:
Kompetsni professional pustakawan:
1.
Memiliki pengetahuan
tentang isi sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi dan
menyaring sumber-sumber tersebut secara kritis.
2.
Memiliki pengetahuan
tentang subjek khusus yang sesuai dengan kegiatan organisasi pelanggannya.
3.
Mengembangkan dan mengelola
layanan informasi dengan baik, mudah diakses, dan cost-effective
(efektif dalam pembiayaan) yang sejalan dengan aturan strategis organisasi.
4.
Menyediakan bimbingan dan
bantuan terhadap pengguna layanan informasi dan perpustakaan.
5.
Memperkirakan jenis dan
kebutuhan informasi, nilai jual layanan informasi dan produk-produk yang sesuai
kebutuhan yang telah diketahui.
6.
Mengetahui dan mampu
menggunakan teknologi informasi untuk pengadaan, pengorganisasian, dan penyebaran
informasi.
7.
Mengetahui dan mampu
menggunakan pendekatan bisnis dan manajemen untuk mengkomunikasikan perlunya
layanan informasi kepada manajemen
senior.
8.
Mengembangkan produk-produk
informasi khusus untuk digunakan di dalam atau di luar lembaga atau oleh
pelanggan secara individu.
9.
Mengevaluasi hasil
penggunaan informasi dan menyelenggarakan penelitian yang berhubungan dengan
pemecahan masalah-masalah manajemen informasi.
10. Secara
berkelanjutan memperbaiki layanan informasi untuk merespons perubahan kebutuhan.
11. Menjadi
anggota suatu tim manajemen senior secara efektif dan konsultan suatu
organisasi di bidang informasi.
Sedangkan kompetensi individu yang harus
dimliki pustakawan adalah:
1.
Memiliki komitmen untuk
memberikan layanan yang terbaik
2.
Mampu mencari peluang dan
melihat kesempatan baru baik di dalam maupun di luar perpustakaan.
3.
Berpandangan luas
4.
Mampu mencari mitra kerja
5.
Mampu menciptakan
lingkungan kerja yang dihargai dan dipercaya
6.
Memiliki keterampilan
berkomunikasi yang efektif
7.
Dapat bekerjasama secara
baik dalam suatu tim kerja
8.
Memiliki sifat kepemimpinan
9.
Mampu merencanakan,
memprioritaskan dan memusatkan pada suatu hal yang kritis.
10. Memiliki
komitmen untuk selalu belajar dan merencanakan pengembangan karirnya.
11. Mampu
mengenali nilai dari kerjasama secara profesional dan solidaritas.
Dengan
kompetensi profesional dan kompetensi individu yang ada, maka seharsnya
pustakawan memiliki sifat positif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan dan mempunyai kemampuan untuk hal-hal berikut ini:
D.1. Menjalankan multi-fungsi
Tenaga
perpustakaan harus bisa melayani pengguna
untuk semua kebutuhannya dalam menjalani setiap siklus pengetahuan, yaitu:
mulai dari mengumpulkan dan mencarikan
informasi dan sumbernya (termasuk training memanfaatkan Internet, mengelola anggaran unitnya untuk hal ini),
menggunakannya (termasuk mempresentasikannya secara
multi-format), sampai mempublikasikannya.
Hal ini bisa dilakukan secara
tatap-muka dan melalui komputer (online maupun offline). Untuk
membantu hal inilah maka dibuatkan fasilitas one-stop shop. Dengan demikian, pengguna tidak harus
'dilempar ke sana ke mari' waktu
berhubungan
dengan perpustakaan, dan tenaga perpustakaan yang bersangkutan bisa mengikuti sampai tuntas pemenuhan
kebutuhan pengguna tersebut. Hal ini
juga akan membantu tenaga
perpustakaan mengembangkan pandangan yang kontekstual dan luas untuk setiap
jenis pekerjaan perpustakaan.
Untuk melakukan hal
tersebut, mau tidak mau tenaga perpustakaan harus mempunyai banyak kemampuan. Menurut Dupuis & Ryan (2002, h5), "Holistic librarians with a
broad range of competencies and skills are an emerging prerequisite
in academic libraries, especially in technology-oriented roles." Uraian di bawah bisa memberikan beberapa
gambaran yang lebih nyata mengenai kemampuan dan keterampilan yang
dibutuhkan.
D.2. Menjadi mitra bagi pengguna
Pengguna
perpustakaan perguruan tinggi adalah orang-orang yang tugasnya mengajar, belajar, dan melakukan
penelitian. Untuk itu mereka harus
membuat rancangan pembelajaran suatu
matakuliah, membuat bahan ajar, memberikannya pada siswa; membuat rancangan penelitian,
mengembangkan alat penelitian, mengumpulkan data, menulis laporan penelitian;
belajar, membuat tugas kuliah; mencari sponsor penelitian, sponsor kuliah;
dsb. Tenaga perpustakaan harus menjadi
mitra mereka dalam tugas-tugas tersebut. Bruce (2001) mengelompokkan kemitraan
antara pustakawan dan dosen ke dalam empat bidang, yaitu, kebijakan,
penelitian, kurikulum, supervisi, dan
pengembangan akademik. Menjadi mitra artinya, tenaga
perpustakaan harus turut mengambil bagian yang penting dalam kegiatan tersebut Dengan demikian, tenaga
perpustakaan bukan sekedar
mencarikan informasi dan memberi bantuan teknis demi peningkatan mutu kegiatan yang bersangkutan dan juga mutu
perguruan tinggi.
Ada
dua alasan untuk menjadikan tenaga perpustakaan sebagai mitra bagi pengguna. Pertama, karena posisinya yang strategis
di pusat ilmu (bukankah perpustakaan
merupakan
tempat pengetahuan di segala bidang ilmu terkumpul'), tenaga perpustakaan secara relatif mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk melihat secara
lintas unit dan lintas-disiplin. Menjadi
mitra, tenaga perpustakaan akan memperoleh
banyak kesempatan untuk melakukan cross-breeding
intra- maupun inter-disiplin. Pengalaman ini juga akan meningkatkan mutu
tenaga perpustakaan yang pada akhirnya akan
memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi pengguna.
Untuk
dapat menjadi mitra, tenaga perpustakaan harus menunjukkan kemampuan akademik yang sekurang-kurangnya sama
dengan (tetapi sebaiknya lebih dari) dosen dan
peneliti, apalagi mahasiswa. Kalau
tidak, bagaimana mereka mau mempercayai tenaga
perpustakaan untuk dijadikan mitra. Bukan
hanya itu, alasan yang utama adalah
karena penanganan informasi ilmiah adalah jauh lebih dari sekedar stamping
books, dan memang mutlak memerlukan
penanganan orang-orang yang mempunyai
kemampuan akademik. Tenaga perpustakaan harus berpendidikan minimum S1,
mempunyai latar-belakang ilmu lain di samping keperpustakaan, mempunyai
kemampuan dan pengalaman meneliti dan menulis ilmiah, mengerti kurikulum dan
penelitian dari perspektif intra- maupun inter-disiplin, mampu memanfaatkan TIK lebih dari pengguna, mempunyai
publikasi di luar bidang keperpustakaan, dsb.
D.3. Menjadikan pengguna mitra
dalam pekerjaan perpustakaan
Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari karakteristik pengguna perpustakaan perguruan tinggi yang adalah konsumen
sekaligus produsen informasi ilmiah. Untuk karakteristik pengguna
seperti ini, sistem yang sesuai (efektif dan ekonomis)
adalah yang sifatnya 'Dari Anda untuk Anda'.
Apalagi setiap mereka adalah
bagian dari jaringan yang mungkin berbeda-beda.
Kalau mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan
perpustakaan memfasilitasi proses pengetahuan, perpustakaan akan menjadi sistem yang lemah (miskin) dan out of touch.
D.4. Proaktif terhadap
kemungkinan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan TIK dan ilmu pengetahuan
TIK
dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Dari informasi segala bidang
ilmu
(termasuk
mengenai TIK) yang bertebaran di 'meja
kerjanya' (yang berupa 'more than a digital libraries'),
tenaga perpustakaan harus mempunyai kemampuan untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan 'yang
tidak mungkin' yang bisa dilakukan oleh kedua
hal itu bagi peningkatan kemampuan sistem perpustakaan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalnya, memikirkan untuk
membuat personalisasi fasilitas searching. Fasilitas ini
untuk membantu pengguna menentukan konsep-konsep yang berhubungan dengan bahan ajar atau penelitian yang harus
dibuatnya, menentukan hubungan antar-konsep
tersebut, menentukan format sumber informasi untuk setiap konsep tersebut yang dibutuhkan (gambar, film,
musik, tekstual, orang, dsb.), dan berdasarkan
ini, dengan sekali tekan tombol, sistem akan mencarikan informasi yang dibutuhkannya. Hal ini akan membuat hasil penelusuran yang
kaya tetapi terarah (terstruktur). Kalau mungkin juga, bisa langsung dihubungkan
dengan
bagian-bagian
karya ilmiah yang harus dibuat.
D.5. Menerapkan konsep-konsep
manajemen yang baru termasuk dalam hal hubungan
dengan pengguna
Bidang
ilmu manajemen berkembang terus, dan mempunyai konsep-konsep dan cara-cara baru dalam
mengelola organisasi yang berorientasi terhadap pengguna. Namun
konsep dan cara baru ini belum tentu sudah teruji di perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai
karakteristik sendiri. Memanfaatkan ilmu manajemen
untuk perpustakaan dengan sendirinya bukan hanya menguntungkan perpustakaan, tetapi juga bisa membantu
perkembangan bidang ilmu tersebut yang mungkin
kurang menjadikan 'tantangan atau isu manajemen di perpustakaan' sebagai bahan masukan bagi pengembangannya.
E. Fasilitas
TIK
Untuk
menjalankan fungsinya seperti yang
diamantakandi atas, perpustakaan perlu mengembangkan fasilitas yang lebih dari sekedar
perpustakaan digital, yaitu perpustakaan
digital
dengan fasilitas untuk:
1.
menghubungkan orang-orang yang bekerja dengan topik yang sama atau serupa Untuk
ini perlu dibuat fasilitas penghubung dengan para ahli yang ada di dalam dan
luar kampus, database ahli, dan fasilitas diskusi melalui milis, dan konsultasi on-line atau liwat e-mail.
2.
menghubungkan orang dengan informasi, yang terdapat di dalam dan luar kampus
Di
samping pangkalan data lokal, perpustakaan juga harus menyediakan links dengan sumber-sumber di luar.
3.
merekam jalannya dan hasil pertemuan (termasuk rapat, seminar, kuliah, dsb.)
4.
memublikasi dalam berbagai
format (untuk ini diperlukan misalnya, software untuk video editing, web development, dsb.)
5. mengunggah berkas
multiformat bahkan sejak draft pertama, dan mendiskusikan karya yang diunggah tersebut
6.
membuat perpustakaan digital pribadi, yaitu dengan fasilitas untuk membuat link dengan sumber-sumber di dalam dan
luar perpustakaan menurut kata-kata kunci dan
hubungan antar-kata kunci tersebut, yang ditentukan oleh pengguna sendiri
7.
membuat modul-modul interaktif untuk
pelatihan literasi informasi yang dapat
diakses secara online secara on-line maupun off-line
8.
merekam semua transaksi yang pernah terjadi antara perpustakaan dan pengguna, sedemikian rupa sehingga perpustakaan
dapat memanfaatkan akumulasi pengetahuan ini
dengan mudah untuk mempercepat dan meningkatkan mutu pelayanan dan proses pengetahuan. Informasi yang perlu
direkam adalah mengenai pengguna (minat, keahlian publikasi, kegiatan, dsb.), informasi yang pernah dicarinya, dan
bagaimana hasilnya; keluhan, kritik,
dan usulan yang pernah disampaikannya; bagaimana atau sejauh mana tanggapan perpustakaan
mengenai hal-hal tersebut, dan tanggapan pengguna
terhadap respons perpustakaan; dst. Hal
ini berguna untuk perpustakaan membangun
hubungan dengan penggunanya secara individual dan mengantisipasi kebutuhannya. Dengan
demikian, perpustakaan menjadi terintegrasi dengan kegiatan penggunanya. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan, kepuasan, dan kepercayaan pengguna akan perpustakaan, serta
kemitraan di antara mereka.
F.
Gedung
Meskipun
tingkat penambahan koleksi tercetak tidak akan sebanyak dahulu, hal ini tidak berarti perpustakaan memerlukan
ruang yang lebih kecil. Ruang yang lebih luas justru perlu disediakan untuk training information Litercy, peralatan komputer untuk one-stop service, peralatan digitalisasi, ruang pengembangan bahan multimedia yang dibutuhkan pengguna,
ruang pertemuan, ruang-ruang untuk menggunakan
komputer pribadi, dsb.
G. PENUTUP
Perkembangan
TIK dan ilmu pengetahuan memaksa perpustakaan
perguruan tinggi untuk melakukan perubahan
besar-besaran kalau tidak mau ditinggalkan oleh penggunanya. Perpustakaan
perlu melakukan transformasi dari penjaga perpustakaan ke penambah nilai pada perpustakaan dan informasi,
dari koleksi tercetak ke digital, dari pemain pasif ke peserta aktif dan
dinamis dalam penciptaan pengetahuan pengguna, dari manajemen informasi ke
manajemen pengetahuan, dari training library
skills ke information Literacy.
Seluruh perubahan ini memerlukan
transformasi pustakawannya terlebih dahulu.
Transformasi pustakawan ini terutama
menyangkut perluasan pandangannya mengenai posisi dan peranannya dalam peningkatan nilai
informasi dan sumber-sumbernya secara terus-menerus,
proaktif, dan kreatif. Tentu saja ini
memerlukan komitmen bukan hanya dari pustakawan,
tetapi terutama juga dari pimpinan tertinggi di organisasi induk. Perubahan tersebut bisa juga termasuk
pengurangan tenaga kerja untuk tugas-tugas
tradisional, seperti akuisisi, pengolahan, dan transaksi.
Namun perguruan tinggi harus
mendukung hal ini kalau pengelolaan dan pengembangan pengetahuan akan dijalankan secara ekonomis dari segi
waktu dan biaya. Hanya dengan demikian perguruan tinggi bisa
memenangkan kompetisi di era globalisasi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bjornshauge,
L. (1999). The electronic library: job design, work
processes and qualifications in electronic
information services - the Julia project.
Dalam S. Criddle, L. Dempsey, dan R.
Heseltine (eds.) Information landscapes for a learning society: networking and the future of libraries 3. An international conference held at the university of
bath, 29 june-1 july 1998 (177-185). London: Library Association
Publishing.
Bruce,
C. (2001). “Faculty-librarian partnerships in
australian higher education: critical
dimensions”. Reference
Service Review, 29 (2), 106-111.
Bundy,
Alan (2001). The 21st century
profession: objects, values, responsibilities.
Paper delivered at CPD seminar ALIA Qld Branch 20 June 2001.
Danabalan,
Hon Dato' V. (1999). "Knowledge
Economy and Knowledge Society -Challenge and Opportunities for Human Resource
Management", Buletin JPA Online. Ditelusuri tanggal 31 Juli 2004
Diao,
Ai Lien (2003). Perubahan perpustakaan
perguruan tinggi dan kebutuhan akan
tenaga baru. Makalah yang
dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia
(FPPTI), yang diselenggarakan pada tanggal
16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Depok.
Doskatsch,
I. (2003). Perceptions and perplexities
of the faculty-librarian partnership: an australian
perspective. Reference Service Review,
31(2), 111-121.
Dupuis,
J. & Ryan, P. (2002). Bridging the
two cultures: a collaborative approach
to managing electronic resources. Issues
in Science and Technology Librarianship, spring.
Feret,
B. & Marcinek, M. (1999). The future
of the academic library and the academic
librarian: a delphi study. Library Career
Development, 7(10), 91-107. <http://www.jpa.gov.my/buletinjpa/bil2/knowledge_economy_and_knowledge_.htm>
Jones, Christopher and Shao,
Binhui (2011). The Net Generation and Digital Natives Implications for Higher Education
: A literature review commissioned by the Higher Education
Academy (Final Version).
Milton Keynes: The Open
University.
Kementerian Pendidikan Nasional RI (2004).
Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Kempster,
G. (1999). Dawning of the age: the
horizon for powerful people-centred
libraries. Dalam S. Criddle, L. Dempsey,
dan R. Heseltine (eds.) Information landscapes for a
learning society: networking and the future of libraries 3. An
international conference held at the university of bath, 29 june-1 july 1998 (199-204). London: Library Association Publishing.
Mayer,
R.E., Smith, T.R., Borgman, C.L., & Smart, L.J. (2002). Digital libraries
as instructional aids for knowledge construction. Educational Technology,November-December, 38-42.
Morgan,
S. (1996). Developing academic library skills
for the future. Library Review, 45(5), 41-53.
Naibaho,
Kalarensi (2004). Information literacy
.... Tesis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia-Progam Studi Ilmu Perpustakaan.
Rapple,
B.A. with commentaries by Joanne R. Euster, Susan Perry, and Jimmy Schmidt (1997). The electronic library: new roles for librarians.
Cause/Effect,
20(1), 45-51.
Skyrme,
David (2002). Ten ways to add value to your
business. Ditelusuri pada tanggal 29 Juli 2004 dari http://www.skyrme.com/pubs/tenways.htm.
Tang,
J. (1998). The expanding roles of librarians for the new
millennium. IASSIST
Quarterly, spring, 19-23.
Wilson,
T.D. (1998). Redesigning the university
library in the digital age. Journal of Documentation,
54(1), 15-27.
_____
** atas ijin penulis (Dr. Diao Ai Lien),
makalah berjudul “Perubahan perpustakaan perguruan tinggi
dan kebutuhan akan
tenaga baru” dikembangkan dan diperkaya dengan
literatur terbaru agar lebih sesuai dengan perkembangan lingkungan pergurua
tinggi saat ini.
Related Posts :
- Back to Home »
- Perpustakaan masa depan: perspektif pustakawan (Pustakawan adalah profesi yang challenging)